Tugas cerpen
Cerpen ini diambil dari kisah saya sendiri. Dimana saat pemakanan kakek dari ayah saya, kami sekeluarga mendapatkan kabar dari kampung bahwa kakek dari ibu saya meninggal.
Judul: Dua Kursi Kosong di Ujung Jemaat
Pagi itu gereja berdiri lebih sunyi dari biasanya, seolah loncengnya pun ragu untuk membangunkan duka yang sedang terlelap. Hari itu adalah hari perpisahan untuk Kakek Surya ayah dari ayahku yang telah berpulang dini hari.
Ia selalu duduk di bangku depan saat misa, mengenakan kemeja putih yang selalu disetrika oleh tangannya sendiri. Ia percaya bahwa menghadap Tuhan itu seperti menghadap tamu agung harus dengan hati dan pakaian terbaik. Kini, bangku itu kosong. Seperti sebuah kursi tua yang ditinggal pemiliknya, tetap berdiri, tapi tak lagi berarti.
Ayah berdiri di samping peti, membaca Mazmur 23 dengan suara yang bergetar. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya...” Tapi di akhir kalimat, suaranya pecah, seperti kaca retak yang tak bisa lagi memantulkan cahaya. Aku tahu, itu bukan sekadar ayat, itu doa seorang anak yang sedang kehilangan arah.
Saat jenazah Kakek Surya dibawa ke pemakaman gereja di lereng bukit, angin berembus lembut, seperti nafas Tuhan sendiri yang mengantarnya pulang. Kami menaburkan bunga dan mengucap Salam Damai, lalu berdiri dalam keheningan, seperti menunggu sesuatu... atau seseorang.
Telepon berdering. Ibu menjawab, dan dunia runtuh untuk kedua kalinya hari itu.
“Papa...” bisiknya lirih. “Papa sudah nggak ada.”
Kakek Wibowo, ayah dari ibu, wafat hanya beberapa jam setelah Kakek Surya dimakamkan. Kami belum sempat mengucap selamat jalan, belum sempat mengucapkan terima kasih. Hanya kabar, hanya jarak, hanya duka yang tumpang tindih tanpa jeda.
Ibu bersimpuh di altar rumah, menyalakan dua lilin. Satu untuk Surya, satu untuk Wibowo. Cahaya mereka berkedip pelan, seperti dua bintang yang saling menyapa dari langit berbeda, namun menyinari rumah yang sama.
Di malam harinya, aku melihat ibu dan ayah duduk berdampingan, diam, memandang ke luar jendela yang menghadap taman. Kursi-kursi di halaman kosong. Dulu dua kakek itu sering duduk di sana sambil bercerita tentang masa muda mereka, saling bercanda meski berbeda gereja, berbeda cara berdoa. Tapi mereka percaya pada Tuhan yang sama. Dan kini, dua kursi itu menjadi saksi bahwa cinta tak pernah benar-benar pergi ia hanya berganti bentuk.
Aku bergumam malam itu:
"Hari ini dua kakek kembali ke Rumah Bapa. Satu dijemput lonceng gereja, satu diiringi doa dalam jarak. Tapi aku tahu, di surga sana, dua kursi kosong diisi kembali, dan tawa mereka kembali menggema, seperti paduan suara yang tak pernah kehilangan nada."
Dan di tengah kehilangan, kami menemukan sepotong damai karena surga, pada akhirnya, adalah rumah yang lebih hangat daripada yang pernah bisa kami bangun di bumi.
Komentar
Posting Komentar